Pemasangan Gigi Tiruan Jembatan dengan Kelainan Periodontal
Senin, 17 Maret 2014
Sabtu, 15 Maret 2014
AKIBAT PEMASANGAN GIGI TIRUAN JEMBATAN PADA GIGI PENYANGGA DENGAN KELAINAN PERIODONTAL
AKIBAT PEMASANGAN GIGI TIRUAN
JEMBATAN
PADA GIGI PENYANGGA DENGAN KELAINAN
PERIODONTAL
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Pendidikan D-IV Keperawatan Gigi
Disusun Oleh :
AFFI FAHRURIYAH
NIM: P2.06.25.1.13.039
KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN
TASIKMALAYA
JURUSAN KEPERAWATAN GIGI
TASIKMALAYA
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia mempunyai visi yang sangat
ideal yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan
perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan
merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes, R.I.,
2000). Definisi sehat menurut Undang-undang pokok kesehatan maupun World Health Organization (WHO) yaitu
merupakan hasil dari tiga kondisi, yaitu fisik, mental dan sosial yang saling
berhubungan satu sama lain. Kesehatan gigi merupakan hasil dari tiga kondisi
yaitu fisik mental dan sosial (Herijulianti, dkk., 2002).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 menyatakan prevalensi karies
pada umur 10 tahun keatas adalah 71,2% dan prevalensi penderita penyakit
gusi 46% jumlah ini diperparah dengan rendahnya motivasi masyarakat untuk
menambal gigi (4-5%). Sementara besarnya kerusakan yang belum ditangani dimana
memerlukan penambalan dan atau pencabutan mencapai 82,5%, umur 65 tahun ke atas
rata-rata gigi banyak hilang karena pencabutan (Gklinis, 2006).
Keadaan gigi ompong atau edentulous merupakan kondisi dimana gigi
tidak ada atau hilang terlepas dari soketnya (tulang rahang), seperti saat
lahir atau pasca pencabutan (Martawiansyah, 2008). Kehilangan gigi apabila
tidak segera diganti, dapat mengakibatkan gigi miring (tiping) ke arah mesial atau distal, gigi lawan mengalami ekstruksi,
gangguan estetik bila terjadi pada gigi depan, gangguan fonetik atau gangguan
bicara, sehingga kehilangan gigi harus diganti dengan gigi tiruan (Prajitno,
1991).
Kehilangan gigi merupakan hal yang
biasa ditemukan di masyarakat. Kehilangan gigi dapat menyebabkan berbagai
gangguan dan pemakaian gigi tiruan adalah salah satu upaya untuk mengembalikan
fungsi dari gigi yang hilang. Pemakaian gigi tiruan dapat membantu memulihkan
fungsi estetik atau kecantikan, fungsi fonetik atau berbicara, fungsi
pengunyahan dan fungsi pelestarian jaringan mulut yang masih ada (Guswiyan,
2008).
Menurut Lupuz (2008), gigi tiruan
merupakan suatu alat buatan yang diciptakan untuk mengganti gigi yang hilang
atau tidak ada, baik sebagian ataupun seluruh gigi. Menurut Martanto (1985),
geligi tiruan dewasa ini dibagi dalam dua bagian yaitu geligi tiruan lengkap
(protesa penuh atau full denture) dan
geligi tiruan sebagian (protesa sebagian atau partial denture), mahkota dan jembatan termasuk geligi tiruan
sebagian yang dipasang secara permanen (fixeed
partial denture). Gigi tiruan mahkota
jembatan dilekatkan dalam rongga mulut dengan menggunakan semen pada
gigi asli yang masih ada, biasanya digunakan untuk mengganti satu atau beberapa
gigi asli yang hilang dan tidak dapat dilepaskan sendiri oleh pasien
(Rikmasari, 2008). Jembatan disebut juga fixed
partial denture yaitu gigi tiruan sebagian lepasan yang dilekatkan secara
tetap pada satu atau lebih gigi penyangga dan mengganti satu atau lebih gigi
yang hilang dan tidak dapat dilepas oleh pasien (Adenan, 2009).
Gigi tiruan mahkota jembatan biasanya
lebih disukai oleh pasien daripada geligi tiruan lepasan. Hal ini disebabkan
karena mahkota jembatan memiliki beberapa keuntungan diantaranya karena tidak
mudah terlepas dan tertelan, dirasakan sebagi gigi sendiri oleh penderita,
tidak mempunyai cangkolan yang dapat menyebabkan keausan pada email gigi
(Prajitno, 1991).
Suatu jembatan hendaknya tidak sekedar
mengganti gigi-gigi yang hilang (mengisi ruangan kosong) akan tetapi harus juga
memulihkan dan menjamin terpeliharanya semua fungsi dari gigi dan gigi
penyangga, juga untuk mencegah kerusakan selanjutnya. Daya guna (pemulihan
fungsi dan pencegahan) dari perawatan ini bergantung pada kemampuan menerapkan
prinsip-prinsip mekanis fisiologis, hyginis, estetik dan fonetik dalam
batas-batas kemampuan biologis dan jaringan penyangga (Martanto, 1985). Keyser
(1994), berpendapat bahwa tujuan pembuatan jembatan adalah sebagai berikut : a)
untuk memulihkan daya kunyah (Masticating
efficience) yang berkurang karena hilangnya satu atau lebih gigi; b) untuk memperbaiki estetika; c)
mencegah terjadinya pemindahan tempat dari gigi-gigi sekitar ruangan yang
kosong diantaranya migrasi, rotasi, eksstrusi; d) untuk mempertahankan kesehatan gusi;
e) untuk memulihkan fungsi fonetik (pengucapan).
Menurut Martanto (1985), mahkota gigi
asli yang baik untuk dijadikan penyangga hendaknya mempunyai panjang dan
normal, berbentuk persegi dan mempunyai kecembungan (bulk) yang cukup. Gigi-gigi pendek dapat juga dipakai sebagai gigi
penyangga dengan cara merubah preparasi dengan maksud mendapatkan pegangan yang
lebih besar. Gigi-gigi yang kecil tipis dan kurang “bulk” dapat dipakai untuk menyangga jembatan-jembatan yang pendek
karena daya kunyah disitu tidak besar. Gigi-gigi yang berbentuk kerucut dapat
dipreparasi dengan baik jika pulpanya sudah cukup mengecil.
Gigi-gigi yang miring (tipping) ke arah mesial atau distal
lebih dari 250 tidak dapat dipakai sebagai gigi penyangga karena
sulit untuk memasukan suatu protesa (path
of insertion). Gigi-gigi dengan keadaan seperti ini seringkali terdapat
daya-daya yang merusak jaringan pendukung atau melepaskan retainer dari gigi penyangga.
Kesehatan gigi tidak terlepas dari
jaringan pendukungnya. Jaringan yang dimaksud adalah jaringan periodontal. Jaringan periodontal adalah jaringan yang
mengelilingi gigi dan berfungsi sebagai penyangga gigi, terdiri dari gingiva, cementum, ligamen periodontal dan tulang alveolar (Caranza, F.A., et
all., 2012).
Berdasarkan permasalahan diatas maka
penulis tertarik untuk mengambil judul “Akibat Gigi Tiruan Jembatan Pada Gigi
Penyangga Dengan Kelainan Periodontal”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat
diambil rumusan masalah, bagaimanakah kondisi kesehatan jaringan periodontal pada pemakaian gigi tiruan
jembatan?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan skripsi ini, yaitu :
1.
Tujuan umum
Memahami lebih
dalam tentang akibat gigi tiruan jembatan pada gigi penyangga dengan kelainan periodontal.
2.
Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian gigi tiruan jembatan
b. Mengetahui bagian-bagian gigi tiruan jembatan
c. Mengetahui cara pembuatan gigi tiruan jembatan
d. Mengetahui keuntungan dan kerugian pemakaian gigi tiruan
jembataan
e. Mengetahui pengertian jaringan periodontal
f. Mengetahui bagian-bagian jaringan periodontal
g.
Mengetahui
kelainan-kelainan jaringan periodontal
D.
Keaslian Penulisan
Sepengetahuan penulis, penulisan
skripsi dengan judul “Akibat Gigi Tiruan Jembatan Pada Gigi Penyangga Dengan
Kelainan Periodontal” belum pernah
dilaksanakan.
E.
Manfaat Penulisan
1.
Menambah pengetahuan
bagi penulis khususnya dan tenaga kesehatan umumnya tentang akibat pemasangan
gigi tiruan jembatan pada gigi penyangga dengan kelainan periodontal.
2.
Menambah pengetahuan
bagi masyarakat tentang akibat pemasangan gigi tiruan jembatan pada gigi
penyangga dengan kelainan periodontal.
F.
Metode Penulisan
Penyusunan skripsi ini berdasarkan
studi kepustakaan, studi kepustakaan dilakukan dengan penelusuran literatur
dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari buku literatur serta makalah
ilmiah yang membahas teori-teori, sehingga dapat menciptakan pemahaman yang
tepat dan relevan.
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Gigi Tiruan
1.
Pengertian
Menurut
Glossory of Prosthodontics (Rahmawan,
2008) gigi tiruan adalah bagian prostodonsia yang menggantikan satu atau
beberapa gigi yang hilang atau seluruh
gigi asli yang hilang dengan gigi tiruan dan didukung oleeh gusi, mukosa tau
kombinasi gigi mukosa ada yang dapat dan ada yang tidak dapat dipasang dan
dilepas oleh pasien. Menurut Gunadi, dkk. (1991), geligi tiruan adalah protesa
yang menggantikan gigi yang hilang serta jaringan sekitarnya. Gigi tiruan dapat
dibagi menjadi dua jenis yaitu gigi tiruan tetap (fixed) dan gigi tiruan lepasan (removable).
Gigi tiruan tetap adalah gigi tiruan yang dipasang sedemikian rupa sehingga
tidak dapat dibuka oleh pemakainya.
Menurut
Sitorus (2005), gigi tiruan adalah suatu alat untuk menggantikan gigi yang
sudah hilang tercabut. Gigi tiruan bila dibuat dengan baik bisa menolong
penderita yang kehilangan gigi dalam hal-hal berikut ini:
a.
Mengembalikan daya
kunyah yang sudah hilang.
b.
Mengembalikan atau
memperbaiki estetis (kecantikan) penderita.
c.
Mengembalikan gaya
bicara supaya benar kembali.
2.
Macam-macam gigi
tiruan
a. Gigi tiruan cekat
Gigi tiruan cekat merupakan
piranti prostetik permanen yang melekat pada gigi yang masih tersisa yang
menggantikan satu atau lebih kehilangan gigi. Jenis restorasi ini telah lama
disebut dengan gigi tiruan jembatan (Shilingburg, dkk, 1997). Gigi tiruan cekat
adalah restorasi yang direkatkan secara permanen pada gigi yang telah
dipersiapkan untuk memperbaiki sebagian atau seeeluruh permukaan gigi yang
mengalami kerusakan/kelainan dan untuk menggantikan kehilangan gigi.
1)
Mahkota jembatan
Mahkota jembatan disebut juga fixed partial denture¸ ialah suatu protesa (geligi tiruan) sebagian yang dilekatkan secara tetap pada satu atau lebih dari satu gigi penyangga dan mengganti satu atau lebih dari satu gigi atau gerahan yang hilang (Martanto, 1985).
2)
Tujuan pembuatan
mahkota
Keyser
(1994), berpendapat bahwa tujuan pembuatan jembatan adalah sebagai berikut: a)
untuk memulihkan daya kunyah (Masticating
efficienci) yang berkurang karena
hilangnya satu satu lebih gigi; b) untuk
memperbaiki estetika; c) mencegah terjadinya pemindahan tempat dari gigi-gigi
sekitar ruangan yang kosong diantaranya migrasi, rotasi, ekstrusi; d) untuk
mempertahankan kesehatan gusi; e) untuk memulihkan fungsi fonetik (Pengucapan).
3)
Bagian-bagian mahkota
jembatan
Menurut
Prajitno (1991), mahkota jembatan terdiri dari 4 bagian yaitu:
a.
Penyangga (abutmen)
Penyangga
disebut juga sandaran atau sauh, ialah gigi geraham atau sandaran dimana suatu
jembatan dilekatkan.
b.
Retainer
Merupakan
restorasi (mahkota, inlay, pasak dowel) yang menghubungkan jembatan dengan
penyangga.
c.
Pontik
Adalah bagian
jembatan yang mengganti gigi asli yang hilang.
d.
Penghubung (Joint off connector)
Adalah
merupakan hubungan antara pontik dan retainer
yang dapat merupakan perlekatan yang kaku (rigid)
atau yang tidak kaku (non rigid)
seperti kunci-kunci atau stressbreaker
(alat penyerap daya untuk mengurangi beban yang harus dipikul oleh penyangga.
4)
Persyaratan mahkota
jembatan
Martanto
(1985), menyatakan bahwa suatu jembatan hendaknya tidak sekedar mengganti
gigi-gigi yang hilang (mengisi ruangan kosong) akan tetapi harus juga
memulihkan dan menjamin terpeliharanya semua fungsi dari geligi dan mencgah
kerusakan selanjutnya. Daya guna (pemulihan fungsi dan pencegahan) dari
perawatan ini bergantung pada kemampuan kita menerapkan prinsip-prinsip
mekanis, fisiologis, higinis, estetik dan fonetik dalam batas-batas kemampuan
biologis dari jaringan-jaringan penyangga (supporting
tissue). Suatu jembatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)
Persyaratan mekanis
Menurut
Martanto (1985), gigi penyangga harus mempunyai sumbu panjang yang sejajar satu
sama lain atau sedemikian rupa sehingga dapat dibuat sejajar tanpa membahayakan
vitalis pulpa. Suatu pontik harus
mempunyai bentuk yang mendekati bentuk anatomi gigi asli yang diganti dan harus
sedemikian kuatnya sehingga dapat menahan atau memikul daya kunyah tanpa patah
atau bengkok.
b)
Persyaratan fisiologis
Jembatan tidak
boleh mengganggu kesehatan gigi penyangga dan jaringan-jarinyan pendukung
lainnya. Preparasi pada gigi vital tidak boleh membahayakan vitalitas pulpanya.
Suatu retainer atau pontik tidak
boleeh mengiritasi jaringan lunak (gusi, lidah, pipi, bibir).
c)
Persyaratan hygienis
Jembatn tidak
boleh terdapat bagian-bagian yang dapat menyangkut, menimbun sisa-sisa makanan.
Diantara pontik dan retaineer harus ada sela-sela (embrasures) yang cukup besar sehingga dapat dibersihkan dengan
mudah oleh arus ludah atau lidah (self
cleansing effect).
d)
Persyaratan estetik
Tiap jembatan,
terutama untuk mengganti gigi depan, harus dibuat sedemikian rupa sehingga
menyerupai gigi asli, tetapi usaha-usaha untuk mencapai tingkat keaslian ini
tidak boleh mengorbankan kekuatan dan kebersihan dari jembatan tersebut. Penampilan
permukaaan logam (emas) yang tidak perlu, sebaiknya dicegah oleh karena
nilai-nilai estetik. Pontik harus mempunyai kedudukan, bentuk dan warna yang
sesuai dengan keadaan sekitarnya dan mempunyai ciri-ciri permukaan (surface detail) yang sepadan (matching) dengan gigi-gigi
tetangganya.
e)
Persyaratan fonetik
Jembatan harus
dibuat sedemikian rupa supaya fungsi bicara tidak terganggu, namun bila
dibandingkan dengan gigi tiruan lepasan pemakai gigi tiruan jembatan dapat
lebih cepat menyesuaikan diri.
5)
Hal yang harus
dipertimbangkan dalam pembuatan jembatan
Menurut
Martanto (1985), hal yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan jembatan adalah
:
a)
Keadaan kesehatan,
kedudukan, kondisi dan tempatnya di rahang dari gigi atau geraham yang masih
ada, yang akan dipakai sebagai penyangga. Gigi geraham yang akan dipakai
sebagai penyangga tidak goyah dan mempunyai kedudukan yang hampir sejajar
dengan gigi lainnya. Suatu gigi penyangga yang panjangnya miring (tipping) lebih dari 250 tidak
dapat dipakai sebagi gigi penyangga
oleh karena untuk mendapatkan kedudukan yang pararel sehubungan dengan jalan masuk (path of insertion).
oleh karena untuk mendapatkan kedudukan yang pararel sehubungan dengan jalan masuk (path of insertion).
(Martanto, 1985)
Ket:
1)
kedudukan normal sumbu
panjang,
2)
sumbu panjang yang
miring karena condong akibat hilangnya geraham sebelahnya,
3)
garis preparasi yang
harus sejajar,
4)
jurusan atau jalan
masuk (part of insertion),
5)
kemungkinan perforasi
ruang pulpa,
6)
sudut kemiringan lebih
dari 250.
(Martanto,
1985)
Panjang akar (b) sedikitnya 1½ panjang mahkotanya (a)
(Martanto, 1985)
b)
Jumlah gigi geraham
yang akan diganti
Menurut
Martanto (1985), jumlah gigi yang dapat diganti oleh suatu jembatan bergantung
pada kondisi dan jumlah gigi yang dapat dipakai sebagai penyangga. Memperkirakan
berapa jumlah gigi penyangga yang diperlukan untuk suatu jembatan dapat
digunakan hukum Ante yang berbunyi “Luas permukaan selaput periodontal dari gigi penyangga hendaknya sama atau lebih besar
dari luas permukaan selaput periodontal
dari gigi-gigi yang diganti”.
c)
Umur penderita
Suatu jembatan
sebaiknya tidak dibuat pada orang dibawah usia 17 tahun karena ruang pulpa
masih besar, belum semua gigi keluar, tengkorak (tulang rahang) masih dalam
keadaan tumbuh, tulang rahang belum cukup padat. Penderita-penderita yang
terlampau tua juga sebaiknya dihindari karena akan terjadi hal-hal yang menyulitkan
dalam pembuatan jembatan misalnya gigi-gigi terkikis habis (abrasi) dan menjadi
pendek, gusi menarik diri (gingival recession),
pada umumnya struktur dentin menjadi rapuh dan gigi-gigi menjadi goyah.
d)
Keadaan kesehatan
gusi, selaput akar dan tulang rahang
Keadaan gusi
disekitar gigi sebagai penyangga harus sehat. Selaput periodontal dapat meradang karena oklusi traumatis. Tulang alveolar dapat mengalami atropi horizontal maupun vertical.
Hal-hal tersebut di atas dapat menjadikan gigi goyah dan tidak mampu untuk
dijadikan penyangga yang kuat.
e)
Kebersihan (hygienis) mulut
Penderita yang
kebersihan mulutnya tidak terpelihara oleh karena cacat atau sebab lain
sebaiknya dihindarkan menggunakan jembatan dan sebaiknya dipakai protesa
sebagian (Martanto, 1985).
f)
Indeks karies
Indeks karies
yang tinggi dapat merupakan kontra indikasi bagi suatu jembatan terutama jika
dipakai retainer-retainer yang tidak menutup seluruh permukaan mahkota gigi.
g)
Oklusi
Oklusi yang
abnormal seperti gigitan silang (cross-bite),
malposisi dan sebagainya dapat merupakan kontra indikasi untuk jembatan oleh
karena daya kunyah yang pada gigitan normal menekan retainer pada penyangga, pada gigitan abnormal seringkali dapat
melepaskannya.
h)
Keadaan atau posisi
gigi lawan (antagonist)
Gigi yang
hilang atau dicabut tidak segera diganti maka terjadi pemindahan tempat
(migrasi) dari gigi-gigi yang membatasi ruang kosong dan ekstrusi dari gigi
lawan. Migrasi dan ekstrusi ini dapat mencapai tingkat yang sedemikian
parahanya sehingga kasusnya menjadi suatu kontra indikasi bagi suatu jembatan
(Martanto, 1985).
(Martanto, 1985)
b. Gigi tiruan sebagian lepasan
1)
Pengertian gigi tiruan
sebagian lepasan
Gigi tiruan sebagian
lepasan adalah suatu alat tiruan (protesa), yang menggantikan gigi yang hilang
tetapi tidak semua gigi yang didukung oleh gigi dan jaringan di bawahnya, gigi
tiruan ini bisa di keluar masukan kedalam mulut oleh pemakainya. Gigi tiruan
lepasan banyak dipelajari dalm bidang ilmu kedokteran gigi, khususnya dalam
bidang prostodonsia (Gunadi, dkk., 1991).
Gigi tiruan sebagian
lepasan adalah suatu alat yang dapat dilepas menggantikan gigi asli yang hilang
dan memperoleh dukungan utama dari jaringan sadel dengan suatu dukungan
tambahan dari gigi asli yang masih tertinggal (Applegate, 1925). Menurut
Osborne (1925), gigi tiruan sebagian lepasan adalah gigi tiruan yang
menggantikan sebagian dari pada gigi asli yang hilang dan dapat dilepas sendiri
oleh pasien dari mulutnya.
Mc. Cracken (1973),
mengartikan gigi tiruan sebagian lepasan adalah suatu restorasi prostetik yang
menggantikan gigi asli yang hilang dan bagian lain dari rahang yang tak bergigi
sebagian, mendapat dukungan terutama dari jaringan dibawahnya dan sebagian dari
gigi asli yang masih tertinggal dipakai sebagai gigi pegangan abutment. Glossary of Prosthodontics (1999), gigi tiruan sebagian lepasan
merupakan bagian prostodonsia yang menggantikan satu atau beberapa gigi yang
hilang dengan gigi tiruan dan didukung oleh gigi, mukosa atau kombinasi
gigi-mukosa yang dipasang dan dilepas oleh pasien.
2)
Fungsi gigi tiruan
sebagian lepasan:
1)
Pemulihan fungsi
estetik
Alasan utama seseorang
pasien mencari perawatan prostodontik biasanya karena masalah estetik, baik
yang disebabkan hilangnya, berubah bentuk, susunan, warna maupun berjejalnya
gigi geligi. Mereka yang kehilangan gigi depan biasanya memperlihatkan wajah
dengan bibir masuk ke dalam, sehingga wajah menjadi depresi pada dasar hidung
dan dagu menjadi tampak lebih ke depan. Kehilangan gigi belakang akan sedikit
terganggu, karena profil pipi tempat gigi yang hilang biasanya lebih cekung
(Gunadi, dkk., 1991).
2)
Peningkatan fungsi
bicara
Alat bicara dapat di
bagi menjadi dua bagian. Pertama bagian yang bersifat statis yaitu gigi,
palatum dan tulang alveolar . Kedua
yang bersifat dinamis yaitu lidah, bibir, vulva,
tali suara dan mandibula. Alat bicara yang tidak lengkap dan tidak sempurna
dapat mempengaruhi suara penderita, misalnya pasien yang kehilangan gigi depan
atas dan bawah. Kesulitan bicara dapat timbul, meskipun hanya bersifat
sementara. Geligi tiruan dapat meningkatkan dan memulihkan kemampuan bicara,
artinya mampu kembali mengucapkan kata-kata dengan jelas (Gunadi, dkk., 1991).
3)
Perbaikan dan
peningkatan fungsi pengunyahan
Makanan harus dikunyah
lebih dahulu, supaya pencernaan dapat berlangsung dengan baik. Pencernaan yang
tidak sempurna dapat menyebabkan kemunduran kesehatan secara keseluruhan.
Pola kunyah penderita
yang sudah kehilangan gigi biasanya mengalami perubahan. Jika kehilangan
beberapa gigi terjadi pada kedua rahang, tetapi pada sisi sama, maka
pengunyahan akan dilakukan semaksimal mungkin oleh gigi asli pada sisi lainnya.
Tekanan kunyah akan dipikul satu sisi atau bagian saja. Setelah pasien memakai
protesa, ternyata merasakan perbaikan. Perbaikan ini terjadi karena sekarang
tekanan kunyah dapat disalurkan secara lebih merata ke seluruh bagian jaringan pendukung,
protesa ini berhasil mempertahankan atau meningkatkan efisiensi kunyah (Gunadi,
dkk., 1991).
4)
Pelestarian jaringan
mulut yang masih tertinggal
Pemakaian geligi
tiruan sebagian lepasan berperan dalam mencegah atau mengurangi efek yang
timbul karena hilangnya gigi (Gunadi, dkk., 1991).
5)
Pencegahan migrasi
gigi
Gigi yang dicabut atau
hilang, gigi tetangganya dapat bergerak memasuki ruang kosong tadi. Migrasi
seperti ini pada tahap selanjutnya menyebabkan renggangnya gigi-gigi lain, dengan
demikian terbukalah kesempatan makanan terjebak, sehingga mudah terjadi
akumulasi plak interdental. Hal ini akan mengakibatkan peradangan pada jaringan
periodontal serta dekalsifikasi
permukaan proksimal gigi (Gunadi, dkk., 1991).
6)
Peningkatan distribusi
beban kunyah
Hilangnya
sejumlah besar gigi mengakibatkan bertambah beratnya beban oklusal pada gigi
yang masih tinggal. Keadaan ini akan memperburuk kondisi periodontal, apa lagi sebelumnya sudah ada penyakit periodontal. Akhirnya gigi menjadi
goyang dan miring, terutama ke labial untuk gigi depan atas. Bila perlekatan periodontal gigi-gigi ini kuat, beban
berlebih tadi akan menyebabkan abrasi berlebih pada permukaan oklusal/ insisal
atau merusak restorasi yang dipakai (Gunadi, dkk., 1991).
3)
Indikasi dan Kontra
Indikasi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Menurut Neil and Walter (1995 Cit. Widiarti, 2010) indikasi dan kontra indikasi gigi tiruan
sebagian lepasan adalah sebagai berikut:
a)
Indikasi gigi tiruan
sebagian lepasan
(1)
hilangnya satu atau
sebagian gigi.
(2)
gigi yang tertinggal
dalam keadaan baik dan memenuhi syarat sebagai gigi pegangan.
(3)
keadaan processus alveolar is baik.
(4)
kesehatan dan
kebersihan mulut pasien baik.
(5)
pasien mau dibuatkan
gigi tiruan sebagian lepasan.
b)
Kontra indikasi gigi
tiruan sebagian lepasan
(1)
penderita yang tidak
kooperatif.
(2)
penyakit sistemik.
(3)
oral hygiene buruk.
4)
Bahan Gigi Tiruan
Sebagian Lepasan
Menurut Rahmadhan
(2010), bahan gigi tiruan sebagian lepasan adalah sebagai berikut:
a)
Akrilik
Akrilik merupakan
sejenis bahan yang mirip plastik yang keras dan kaku. Bahan ini juga dipakai
untuk plat pada kawat gigi yang bisa dilepas pasang. Biasanya plat gigi tiruan
yang terbuat dari akrilik dibuat agak tebal supaya plat tidak mudah patah. Gigi
tiruan sebagian lepasan bahan akrilik
dapat dilihat pada gambar 6 di bawah ini:
(Mozarta,
2006)
b)
Metal akrilik
Menurut Rahmadhan (2010), metal akrilik
merupakan kombinasi antara plat logam dengan akrilik. Gigi tiruan metal akrilik
dibuat sebagai alternatif dari gigi tiruan akrilik yang bagi beberapa orang
terasa kurang nyaman karena ketebalan platnya, selain itu gigi tiruan dari
bahan metal akrilik relatif lebih kuat dan tidak mudah patah karena platnya
dari logam. Gigi tiruan sebagian lepasan bahan metal akrilik dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini:
(Mozarta,
2006)
c)
Valplast
Menurut Rahmadhan
(2010), valplast merupakan bahan baru
dalam pembuatan kerangka gigi tiruan lepasan, bahan ini tidak kaku seperti
akrilik dan logam melainkan fleksibel seperti karet, karena fleksibel bahan ini
bisa menyesuaikan diri dengan segala pergerakan ataupun fleksibilitas yang ada
dalam rongga mulut, selain itu kekuatan dari bahannya membuat pemakai merasa
nyaman. Gigi tiruan sebagian lepasan bahan valplast dapat dilihat pada gambar 8
di bawah ini:
(Mozarta, 2006)
5)
Macam-macam
Klasifikasi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Banyak ragam
klasifikasi yang diciptakan dan digunakan orang. Klasifikasi tersebut antara
lain klasifikasi Bockett, Godfrey, Swenson, Wilson, Skinner, Appligate,
Kennedy, Avan, Miller, dan lain-lain (Gunadi, dkk., 1991). Klasifikasi yang
banyak digunakan adalah yang dibuat oleh Kennedy, Cummer, dan Baylin. Skripsi
ini akan membahas tentang klasifikasi Kennedy, cara ini mula-mula dibuat oleh
Kennedy pada tahun 1925 berupaya mengklasifikasikan lengkung tidak bergigi
supaya dapat membantu desain geligi tiruan sebagian lepasan. Klasifikasi ini
membagi semua keadaan tak bergigi menjadi empat macam keadaan. Daerah tak
bergigi lain dari pada yang telah ditetapkan dalam empat kelompok tadi disebut
sebagai modifikasi.
Kelas I
|
:
|
daerah tak bergigi terletak di posterior dari gigi yang
masih ada dan berada pada kedua sisi.
|
Kelas II
|
:
|
daerah tak bergigi yang masih bergigi terletak diantara
gigi yang masih ada bagian posterior maupun anteriornya dan unilateral.
|
Kelas III
|
:
|
daerah tak bergigi terletak pada bagian anterior dari
gigi-gigi yang masih ada dan melewati garis tengah rahang.
|
Kelas IV
|
:
|
daerah tak bergigi terletak pada bagian anterior dari
gigi-gigi yang masih ada dan melewati garis tengah rahang.
|
Salah satu keuntungan
pemakaian klasifikasi ini, memungkinkan orang melihat dengan bagian rahang yang tidak bergigi lagi. Cara ini juga
memungkinkan pendekatan logis bagi masalah-masalah pembuatan desain.
Klasifikasi Kennedy dapat di lihat pada gambar 9 dibawah ini:
Gambar 9. Modifikasi Kennedy (Gunadi, dkk., 1991)
6)
Bagian-Bagian Gigi
Tiruan Sebagian Lepasan (GTSL)
1.
Elemen Gigi Tiruan
2.
Sandaran Oklusal
3.
Cengkeram
4.
Konektor Utama
5.
Konektor tambahan
6.
Retensi tak langsung
7.
Bais dari resin
8.
Konektor utama
|
Gigi tiruan sebagian
lepasan pada umumnya terdiri dari penahan (retainer),
sandaran (rest), konektor, elemen
(gigi tiruan), Basis gigi tiruan dan penahan tidak langsung (Gunadi, dkk.,
1991). Secara lebih rinci bagian-bagian tersebut diuraikan sebagai berikut:
a)
Penahan (Retainer)
Merupakan
bagian dari gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) yang berfungsi memberikan
retensi sehingga mampu menahan protesa tetap pada tempatnya (Gunadi, dkk.,
1991). Dapat dilihat pada gambar 11 di bawah ini
Gambar 11. Penahan/ Retainer (Gunadi, dkk.,1991)
b)
Sandaran (Rest)
Merupakan bagian dari gigi tiruan yang bersandar pada permukaan gigi penyangga dan dibuat dengan tujuan memberikan dukungan terhadap tekanan vertikal pada protesa (Gunadi, dkk., 1991). Dapat dilihat pada gambar 12 dibawah ini :
c)
Konektor
Konektor
pada tiap rahang dibagi menjadi konektor utama dan konektor minor. Konektor
utama merupakan bagian gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) yang menghubungkan
bagian protesa yang terletak pada salah satu sisi rahang dengan sisi lainnya,
merupakan bagian yang penting karena merupakan kontruksi dari gigi tiruan.
Konektor minor merupakan bagian gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) yang
menghubungkan konektor utama dengan bagian lain misalnya suatu penahan langsung
atau sandaran oklusal dihubungkan dengan konektor utama melalui suatu konektor
minor. (Gunadi, dkk., 1991). Dapat dilihat pada gambar 13 dibawah ini :
d)
Elemen (Gigi tiruan)
Merupakan
gigi pengganti dari gigi yang hilang, biasanya terbuat dari resin akrilik dan
porselen (Gunadi, dkk., 1991). Dapat dilihat pada gambar 14 dibawah ini :
e)
Basis gigi tiruan
Basis
gigi tiruan disebut juga dasar atau sadel,
merupakan bagian yang menggantikan tulang alveolar
yang sudah hilang. Basis berfungsi
mendukung gigi (elemen) tiruan, menyalurkan tekanan oklusal ke jaringan
pendukung gigi penyangga dan linggir sisa, memenuhi faktor kosmetik dengan
pemberian warna dan pengambilan kontur wajah sehingga terlihat alami, memberikan
stimulasi kepada jaringan yang berada dibawah dasar gigi dan memberikan retensi
dan stabilitas kepada gigi tiruan (Gunadi, dkk., 1991). Basis gigi tiruan dapat dilihat pada gambar 15 dibawah ini :
f)
Penahan tidak langsung
Merupakan
bagian yang berfungsi untuk mengimbangi terjadinya gerakan rotasi atau
pemindahan pada gigi tiruan.
B.
Gigi Penyangga
Menurut Prajitno (1991), gigi penyangga
harus dipersiapkan supaya dapat memberi dukungan yang kuat pada geligi tiruan
jembatan. Preparasi pada gigi tiruan harus menghasilkan retensi dan tidak boleh
membahayakan pulpa. Penyangg yang ideal ialah penyangga yang masih vital
(hidup) pulpanya, namun tidak berarti gigi nonvital tidak dapat dipakai sebagai
penyangga jembatan. Gigi yang telah dirawat saluran akarnya pun masih dapat
bertahan lama sebagai penyangga jembatan, tetapi gigi seperti itu lebih rapuh
daripada yang masih vital.
Mahkota gigi asli yang baik untuk
dijadikan gigi penyangga hendaknya mempunyai panjang yang normal, berbentuk
persegi dan mempunyai kecembungan (bulk)
yang cukup. Gigi-gigi yang pendek juga dapat dipakai sebagai gigi penyangga
dengan cara merubah preparasi dengan maksud mendapatkan pegangan yang lebih
besar. Gigi-gigi yang kecil tipis dan kurang kecembungan dapat dipakai untuk
menyangga jembatan-jembatan yang pendek dan daya kunyah tidak besar. Gigi-gigi
yang berbentuk kerucut dapat dipreparasi dengan baik jika pulpanya sudah
mengecil. Gigi-gigi yang miring (condong) ke mesial atau distal dapat dipakai
sebagai gigi penyangga asalkan kecondongan tidak lebih dari 250 dari
kedudukan sumbu panjang aslinya, karena akan sulit dalam pelaksanaan preparasi
dan penentuan arah masuk dari jembatan pada waktu pemasangan protesa. Gigi-gigi
dengan keadaan miring seringkali terdapat daya yang merusak jaringan pendukung
atau melepaskan retainer dari gigi
penyangga (Martanto, 1985).
C.
Periodontal
1.
Pengertian jaringan periodontal
Ilmu kedokteran gigi
jaringan pendukung gigi dikenal dengan istilah periodontium. Perkataan ini berasal dari bahasa yunani, feri berarti disekeliling dan odom artinya gigi, jadi periodontium artinya disekeliling gigi.
Sedangkan penyakit yang mengenai jaringan ini disebut penyakit periodontal (Be Kien Nio, 1987, Cit. Surtiana, 2011).
Jaringan periodontal yang memberikan dukungan
yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi gigi terdiri dari empat komponen
utama, yaitu gingiva, ligamentum periodontal, sementum, dan
tulang alveolar . Masing-masing
komponen dari jaringan periodontal berbeda lokasi, tekstur jaringan, komposisi
biokimia, dan komposisi kimianya (Fiorellini, 2005).
Jaringan periodontal merupakan sistem fungsional
jaringan yang mengelilingi dan melekatkan pada tulang rahang, dengan demikian
dapat mendukung gigi hingga tidak terlepas dari soketnya. Jaringan
periodontal terdiri dari gingival, tulang alveolar , ligament periodontal
dan sementum. Sementum termasuk dalam jaringan periodontal, oleh karena sementum bersama-sama dengan tulang alveor
merupakan tempat tertanamnya serat-serat utama ligament periodontal. Setiap jaringan memainkan peranan penting
dalam memelihara kesehatan dan fungsi dari periodontium.
Keadaan jaringan periodontal ini
sangat bervariasi, hal ini tergantung atau dipengaruhi oleh morfologi gigi,
fungsi maupun umur (Herijulianti, dkk., 2011).
Bagian bagian jaringan periodontal terdiri dari:
- Gingiva
Gingiva merupakan
bagian dari jaringan periodontal yang
paling luar. Gingiva seringkali
dipakai sebagai indikator bila jaringan periodontal
terkena penyakit, hal ini disebabkan karena kebanyakan penyakit periodontal dimulai dari gingiva, kadang-kadang gingiva juga dapat menggambarkan keadaan
tulang alveolar yang berada di bawahnya.
Gingiva adalah bagian
dari jaringan periodontal yang meliputi
prosesus alveolar is dan mengelilingi
gigi, secara klinis gingival dapat
dibagi menjadi 2 yaitu gingiva bebas
(anattached gingiva) dan gingiva cekat (attached gingiva), serta papilla interdental. Gingiva bebas adalah bagian dari gingiva yang mengelilingi gigi dan tidak terletak pada gigi,
meliputi marginal gingiva merupakan
bagian yang terletak dipermukaan labial,
bukal, lingual, palatinal yang
lebarnya kurang lebih 1 milimeter dan merupakan bagian dari sulkus gingival (Be Kien Nio, 1987, Cit. Surtiana, 2011).
Gingiva mengelilingi gigi, dan warnanya bergantung pada pigmentasi seseorang. Gingiva yang sehat berwarna merah muda dan permukaannya sering digambarkan seperti kulit jeruk. Bagian gingiva yang berbatasan langsung di daerah leher gigi disebut tepi gingiva atau free gingiva atau gingival margin, yang berukuran sekitar 1 mm. Daerah ini tidak melekat kuat dengan tulang. Di dasarnya terdapat perlekatan epitel, di mana jaringan gusi mulai melekat ke gigi dan menjadi dasar dari sulkus gingiva. Sulkus gingiva adalah celah antara free gingiva dan gigi. Kedalaman sulkus yang sehat umumnya tidak melebihi 2-3 mm. Gingiva yang berada di sela gigi disebut papilla interdental.
Perhatikan warnanya yang merah muda, permukaannya tidak rata (seperti kulit
jeruk), papilla interdental (gusi di antara dua gigi) melancip dan tajam.
Gingiva merupakan
bagian dari membran mukosa mulut tipe mastikasi yang melekat pada tulang alveolar serta menutupi dan mengelilingi gigi. Gambaran
klinis gingival dipakai sebagai dasar
untuk mengetahui perubahan patologis yang terjadi pada gingiva yang terjangkit suatu penyakit. Batas-batas gambaran klinis
gingiva normal ini tidak mempunyai
patokan yang jelas, karena gambaran klinis gingiva
normal tersebut sangat bervariasi dari individu yang satu ke individu yang
lain.
Gingiva adalah bagian
dari mukosa mulut yang melapisi tulang alveolar
dari rahang atas dan rahang bawah
serta di sekeliling leher gigi. Gingiva
secara anatomi dibagi menjadi marginal gingiva
(tepi gusi), sulkus gingiva, attached gingiva (bagian dari yang
melekat), serta interdental gingiva
atau interdental papilla.
1)
Marginal gingiva
Marginal gingiva atau unattched gingiva
adalah sambungan tepi atau pinggiran dari gingiva
yang mengelilingi gigi berbentuk seperti lingkaran. Dalam 50% kasus, marginal gingiva dibatasi dengan attached gingiva oleh depresi linear
yang dangkal disebut free gingiva groove.
Biasa lebarnya sekitar 1 mm dari dinding jaringan lunak sulkus gingiva. Marginal gingiva
dapat dipisahkan dari permukaan gigi dengan probe periodontal (Fiorellini, 2005).
2)
Sulkus gingiva
Sulkus gingiva adalah celah
dangkal atau ruang di sekitar gigi yang dibatasi oleh permukaan gigi pada satu
sisi dan lapisan epitel margin bebas dari sisi lain gingiva. Sulkus ini berbentuk V dan hanya sedikit saja yang dapat
dimasuki oleh probe periodontal.
Determinasi klinik dari kedalaman sulkus gingiva
merupakan parameter diagnostik yang penting. Dalam kondisi benar-benar normal
atau ideal, maka kedalaman sulkus gingiva
dapat mencapai 0 (Fiorellini, 2005).
3)
Attached gingiva.
Attached gingiva
merupakan suatu lanjutan dari marginal gingiva.
Attached gingiva berbatas tegas,
elastik dan melekat erat pada periosteum
dari tulang alveolar . Aspek
permukaan dari attached gingiva
meluas ke mukosa alveolar dibatasi oleh mucogingiva junction. Lebar dari attached gingiva merupakan parameter klinik penting lainnya, yang
dapat diukur sesuai jarak antara mucogingiva
junction dan proyeksi dari permukaan
dasar luar dari sulkus dengan menggunakan probe
periodontal (Fiorellini, 2005)
Lebar dari attached gingiva dari aspek fasial
berbeda pada tiap daerah dalam rongga mulut. Attached gingiva pada daerah insisivus rahang atas 3,5-4,5 mm dan
pada insisivus rahang bawah sebesar 3,3-3,9 mm dan lebih sempit pada daerah posterior ( 1,9 mm pada rahang
atas dan 1,8 pada rahang bawah).
Mucogingiva junction
tetap tidak bergerak hingga dewasa, perubahan lebar attached gingiva disebabkan oleh perubahan posisi coronal end. Lebar dari attached gingiva meningkat sesuai umur
dan pada gigi yang supraerupsi. Dari aspek lingual alveolar , akhir dari attached
gingiva dihubungkan oleh mukosa membran dasar mulut (Itoiz, 2002, Cit. Surtiana, 2011).
4)
Papila Interdental
Gingiva
interdental menempati embrasure gingiva yang terletak pada daerah
interproksimal di bawah daerah kontak gigi. Interdental gigi dapat berbertuk
piramida atau berbentuk kol. Bentuk ruang interdental gingiva tergantung dari titik kontak antara gigi dan ada tidaknya
resesi gingiva.
Permukaan fasial dan
lingual lonjong ke daerah kontak proksimal dan berbentuk cembung pada daerah
mesial dan distal. Ujung lateral dari interdental gingiva dibentuk oleh kontibuitas marginal gingiva ke gigi
sebelahnya, jika terjadi diastem, gingiva
berbentuk datar membulat di atas tulang interdental dan halus tanpa papila
interdental (Itoiz, 2002, Cit. Surtiana,
2011).
Gambaran gingiva terdiri dari :
1)
Warna gingiva
Warna gingiva normal pada umumnya berwarna merah jambu (coral pink). Hal ini diakibatkan oleh
adanya suplai darah, tebal dan derajat lapisan keratin epithelium serta sel-sel pigmen (Herijulianti, dkk., 2011).
2)
Besar giginya
Besar gingiva ditentukan oleh jumlah elemen seluler, interseluler dan
suplai darah. Perubahan besar gingiva
merupakan gambaran yang paling sering dijumpai pada penyakit periodontal (Herijulianti, dkk., 2011).
3)
Kontur gingiva
Kontur dan besarnya gingiva sangat bervariasi, keadaan ini
dipengaruhi oleh bentuk dan susunan gigi geligi pada lengkungnya, lokalisasi
dan luas area kontak proksimal dan dimensi embrasure (interdental) gingiva oral maupun vestibular.
Interdental papil menutupi bagian interdental sehingga tampak lancip
(Herijulianti, dkk., 2011).
4)
Konsistensi gingiva
Keadaan gingiva yang sehat menunjukkan konsistensi gingiva yang kenyal, resilien, dan melekat erat pada tulang
dibawahnya (Fedi, dkk., 2005).
5)
Tekstur
Permukaan attached gingival berbintik-bintik seperti kulit jeruk.
Bintik-bintik ini dinamakan stipling.
Stipling akan terlihat jelas apabila gingival
dikeringkan. Stipling ini
bervariasi dari individu satu ke individu yang lain dan pada permukaan yang
berbeda pada mulut yang sama, seperti pada permukaan marginal gingiva tidak terdapat stipling
(Herijulianti, dkk., 2011). Hilangnya stipling
merupakan tanda adanya penyakit periodontal
(Fedi, dkk., 2005).
- Tulang alveolar
Tulang alveolar merupakan bagian
maksila dan madibula yang membentuk dan mendukung soket gigi. Secara anatomis
tidak ada batas yang jelas antara tulang alveolar
dengan maksila dan madibula. Bagian
tulang alveolar yang membentuk dinding soket gigi disebut alveolar bone proper. Alveolar bone proper ini
akan didukung oleh bagian tulang alveolar
lainnya yang dikenal dengan nama supporting alveolar bone. Tulang alveolar membentuk socket yang akan mendukung dan
melindungi akar gigi (Herijulianti, dkk., 2011).
Tulang alveolar dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1)
tulang alveolar proprium
lapisan tipis tulang
yang mengelilingi akar dan memberikan tempat perlekatan bagi ligamentum periodontal.
2)
tulang alveolar pendukung
bagian tulang alveolar yang mengelilingi
tulang alveolar proprium dan memberikan dukungan terhadap socket. Tulang alveolar pendukung terdiri
dari dua bagian yaitu compact (membentuk
keeping oral dan vestibular), dan tulang spongi
yang terletak diantara lempeng cortical
dan tulang alveolar proprium (Fedi, dkk., 2005).
Walaupun tulang alveolar dibagi lagi secara anatomis, tapi
bagian-bagian tadi berfungsi secara suatu kesatuan. Keberadaan tulang alveolar tergantung dari adanya gigi, bila gigi
dicabut tulang alveolar akan mengalami resorpsi, jika gigi tidak
erupsi tulang alveolar tidak berkembang (Herijulianti, dkk.,
2011).
- Ligamentum periodontal
Ligament periodontal terdiri
atas serabut jaringan ikat berkolagen, berwarna putih, yang mengelilingi akar
gigi dan melekat ke tulang alveolar (Fedi, dkk., 2005). Ligament periodontal merupakan jaringan pengikat yang mengisi
ruangan antara permukaan gigi dengan dinding soket, mengelilingi akar gigi
bagian koronal dan turut serta mendukung gingiva.
Kebanyakan penyakit yang mengenai ligamentum periodontal, apabila tidak dilakukan perawatan dengan baik akhirnya
akan menyebabkan hilangnya gigi (Herijulianti, dkk., 2011)
Serat-serat lagamentum periodontal merupakan elemen yang paling penting dari ligament periodontal. Serat-serat ini
terdiri dari serat-serat kolagen yang tersusun dalam bundle dan jalannya
bergelombang. Ujung-ujungnya tertanam didalam sementum dan tulang alveolar tersebut dinamakan serat sharpey. Serat-serat utama ini tersusun menjadi beberapa grup yaitu
: grup transeptal, grup puncak alveolar ,
grup horizontal, grup obliq, grup interradikuler dan grup apical.
Suplai
darah ligamentum periodontal berasal
dari arteri infra dan supra alveolar .
Arteri ini mencapai ligamentum periodontal
melalui dental arteri,
interdental-interradikular arteri dan anastomose
dari pembuluh darah gingiva. Sebelum
masuk ke foramen apical dentis, pembuluh darah yang akan mensuplai pulpa gigi
akan bercabang ke ligamentum periodontal
melalui kanal-kanal yang ada didalam tulang alveolar .
Umumnya
saraf pada ligamentum periodontal
mengikuti jalannya pembuluh darah, baik dari apical maupun interdental dan intrradikular.
Ligamentum periodontal banyak
disuplai oleh saraf sensori yang mampu menyalurkan sensor tekanan dan rasa
sakit (Herijulianti, dkk., 2011).
Ligamentum periodontal memiliki beberapa
fungsi yaitu sebagai fungsi fisik, fungsi formatif, fungsi nutrisi dan
sensoris.
1)
Fungsi fisik
Pada fungsi fisik ligamentum periodontal dapat :
a)
menyalurkan tekanan
oklusal ke tulang alveolar
b)
melekatkan gigi ke
tulang alveolar
c)
memelihara hubungan
jaringan gingiva ke gigi
d)
sebagai peredam
tekanan
e)
melindungi pembuluh
darah dan syaraf dari tekanan mekanik.
2)
Fungsi formatif
Sel-sel pada ligamentum periodontal dan puncak tulang alveolar terkena tekanan
fisik pada proses pengunyahan, parafungsi, bicara dan tekanan ortodonti. Elemen
seluler pada ligamentum periodontal berpartisipasi
pada pembentukan maupun resorpsi sementumdan tulang yang hasilnya adalah
pergeseran gigi secara fisiologis, penyesuaian lebar periodontal terhadap tekanan oklusal dan pada proses perbaikan
kerusakan.
3)
Fungsi nutrisi dan
sensori
Ligamentum periodontal
melalui pembuluh darahnya akan
mensuplai nutrisi sementum, tulang dan gingiva.
Persarapan ligamentum periodontal
mempunyai kemampuan mendeteksi dan melokalisir tekanan yang dikenakan pada gigi
dan memegang peranan penting untuk mengontrol mekanisme neuromuskuler otot-otot
pengunyahan.
- Cementum
Cementum adalah struktur terkalsifikasi yang menutupi akar anatomis
gigi, terdiri atas matriks terkalsifikasi yang mengandung serabut kolagen
(Fedi, dkk., 2005). Menurut Megananda, at.all
(2010), sementum merupakan jaringan mesenchymal
yang tidak mengandung pembuluh darah atau saraf dan mengalami klasifikasi serta
menutupi permukaan akar gigi anatomis. Sementum berperan di dalam mengikat gigi
ke tulang alveolar , yaitu dengan
adanya serat utama ligamentum periodontal
yang tertanam di dalam sementum (serat
sharpey). Sementum ini tipis pada daerah dekat perbatasannya dengan enamel
dan makin menebal kearah afek gigi
Menurut Herijulianti, dkk.,2011. Berdasarkan morfologinya sementum dibagi menjadi dua tipe
yaitu sementum aseluler (sementum primer) dan sementum seluler (sementum
skunder).
1)
Sementum aseluler
Sementum aseluler adalah sementum yang
pertama kali terbentuk, menutup kurang lebih sepertiga servikal atau hingga
setengah panjang akar, dan tidak mengandung sel-sel. Sementum ini dibentuk sebelum
gigi mencapai bidang oklusal, ketebalannya berkisar antara 30-230 um. Disini
serat sharpey merupakan struktur utamanya yang peran utamanya mendukung gigi.
2)
Sementum sekunder
Sementum seluler terbentuk setelah gigi
mencapai bidang oklusal, bentuknya kurang teratur (ireguler) dan mengandung
sel-sel (sementosis) pada rongga-rongga yang terpisah-pisah (lakuna-lakuna)
yang berhubungan satu sama lain melalui anastomisis
kanalikuli. Dibanding dengan sementum
aseluler, sementum seluler kurang terkalsifikasi dan hanya sedikit mengandung serat sharfey.
Ada dua sumber serat-serat kolagen pada
sementum, yaitu :
a)
serat sharpey (ekstrinsik)
Merupakan bagian dari serat-serat utama
ligamentum periodontal yang terpendam
fibroblast.
b)
Menurut Herijulianti,
dkk., 2011 serat-serat yang dimiliki oleh matrik
sementum (intrinsik) yang dihasilkan oleh sementoblast.
Fungsi sementum adalah
menahan gigi pada socket tulang
dengan perantaraan serabut prinsipal
ligamentum periodontal, mengompensasi keausan struktur gigi karena
pemakaian dengan pembentukan terus menerus, memudahkan terjadinya pergeseran mesial fisiologis, dan memungkinkan
penyusunan kembali serabut ligamentum periodontal
secara terus menerus (Fedi, dkk., 2005).
2.
Periodontitis
a.
Pengertian periodontitis adalah peradangan pada
jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang). Penyakit periodontal merupakan kondisi patologis pada jaringan pendukung
gigi, meliputi gingiva, ligamentum periodontal,
cementum dan tulang alveolar . Tahap
awal dari periodontitis adalah
peradangan gusi (gingivitis ) dan
berlanjut menjadi periodontitis kronis.
Tanda-tanda klinis dari periodontitis adalah
adanya inflamasi gingiva, pembengkakan
papila interdental, kerusakan tepi gingiva,
terbentuknya pocket/saku gingiva dan resesi gingiva (Wiyatini, dkk., 2011).
Periodontitis adalah penyakit
radang yang menyerang jaringan pendukung gigi yang disebabkan mikroorganisme
tertentu sehingga terjadi dekstruksi progresif tulang alveolar dan penghancuran ligamentum periodontal, berupa
terbentuknya pocket dental dan resesi
gingiva. Periodontitis adalah
penyakit atau peradangan pada periodontium
(jaringan penyangga gigi/periodontal),
merupakan keradangan berlanjut akibat gingivitis
yang tidak dirawat (Sari, 2012).
b.
Etiologi periodontitis
Periodontitis atau penyakit periodontal disebabkan oleh faktor
primer dan faktor sekunder. Penyebab primer dari penyakit periodontal adalah iritasi bakteri, meskipun demikian sejumlah
kecil plak biasanya tidak mengganggu kesehatan gingiva dan periodontal. Ada
beberapa faktor lain baik lokal maupun sistemik yang merupakan predisposisi
dari akumulasi plak atau perubahan repon gingiva
terhadap plak, faktor-faktor ini dapat dianggap sebagai faktor etiologi
sekunder. Faktor sekunder yang berupa lokal salah satunya yaitu geligi tiruan
lepasan yang desainnya tidak baik (Manson dan Eley, 1989).
Periodontitis umumnya
disebabkan oleh plak. Plak adalah lapisan tipis biofilm yang mengandung
bakteri, produk bakteri, dan sisa makanan. Lapisan ini melekat pada permukaan
gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan gingivitis dan periodontitis
adalah plak yang berada tepat di atas garis gingiva. Bakteri dan produknya dapat menyebar kebawah gingiva sehingga terjadi proses peradangan
dan terjadilah periodontitis (Sari,
2012).
D.
Landasan Teori
Menurut Lupuz (2008), gigi tiruan
merupakan suatu alat buatan yang diciptakan untuk mengganti gigi yang hilang
atau tidak ada, baik sebagian ataupun seluruh gigi. Menurut Martanto (1985),
geligi tiruan dewasa ini dibagi dalam dua bagian yaitu geligi tiruan lengkap
(protesa penuh atau full denture) dan
geligi tiruan sebagian (protesa sebagian atau partial denture), mahkota dan jembatan termasuk geligi tiruan
sebagian yang dipasang secara permanen (fixeed
partial denture). Gigi tiruan mahkota
jembatan dilekatkan dalam rongga mulut dengan menggunakan semen pada
gigi asli yang masih ada, biasanya digunakan untuk mengganti satu atau beberapa
gigi asli yang hilang dan tidak dapat dilepaskan sendiri oleh pasien
(Rikmasari, 2008). Jembatan disebut juga fixed
partial denture yaitu gigi tiruan sebagian lepasan yang dilekatkan secara
tetap pada satu atau lebih gigi penyangga dan mengganti satu atau lebih gigi
yang hilang dan tidak dapat dilepas oleh pasien (Adenan, 2009).
Gigi tiruan mahkota jembatan biasanya
lebih disukai oleh pasien daripada geligi tiruan lepasan. Hal ini disebabkan
karena mahkota jembatan memiliki beberapa keuntungan diantaranya karena tidak
mudah terlepas dan tertelan, dirasakan sebagi gigi sendiri oleh penderita,
tidak mempunyai cangkolan yang dapat menyebabkan keausan pada email gigi
(Prajitno, 1991).
Jaringan periodontal merupakan sistem fungsional jaringan yang mengelilingi
dan melekatkan pada tulang rahang, dengan demikian dapat mendukung gigi hingga
tidak terlepas dari soketnya. Jaringan periodontal terdiri dari gingival,
tulang alveolar , ligament periodontal dan sementum.
Sementum termasuk dalam jaringan periodontal,
oleh karena sementum bersama-sama dengan tulang alveor merupakan tempat
tertanamnya serat-serat utama ligament
periodontal. Setiap jaringan memainkan peranan penting dalam memelihara
kesehatan dan fungsi dari periodontium.
Keadaan jaringan periodontal ini
sangat bervariasi, hal ini tergantung atau dipengaruhi oleh morfologi gigi,
fungsi maupun umur (Herijulianti, dkk., 2011).
Periodontitis adalah penyakit radang yang menyerang jaringan pendukung
gigi yang disebabkan mikroorganisme tertentu sehingga terjadi dekstruksi
progresif tulang alveolar dan penghancuran ligamentum periodontal, berupa terbentuknya pocket dental dan resesi gingiva.
Periodontitis adalah penyakit atau peradangan pada periodontium (jaringan penyangga gigi/ periodontal), merupakan keradangan berlanjut akibat gingivitis yang tidak dirawat (Sari, 2012).
E.
Kerangka Konsep
Akibat pemasangan gigi tiruan jembatan
|
Gigi penyangga
|
Kelainan periodontal
|
BAB III
PEMBAHASAN
Mahkota jembatan disebut juga fixed partial denture ialah suatu
protesa (gigi tiruan) yang dilekatkan secara tetap pada satu atau lebih dari
satu gigi penyangga dan mengganti satu atau lebih dari satu gigi geraham yang
hilang. Pembuatan geligi tiruan berupa mahkota jembatan dewasa ini menjadi
pilihan untuk menggantikan gigi-gigi yang hilang, hal ini disebabkan karena
geligi tiruan memiliki beberapa keuntungan diantaranya karena dilekatkan pada
gigi asli, jembatan tidak mudah terlepas dan tertelan, dirasakan sebagai gigi
sendiri oleh penderita, tidak mempunyai cangkolan yang dapat menyebabkan
keausan pada permukaan gigi, dapat mempunyai efek belat (splint) yang melindungi terhadap stress dan menyebarkan stress
(tegangan) keseluruh gigi sehingga menguntungkan jaringan pendukung.
Geligi tiruan mahkota jembatan memiliki
beberapa komponen diantaranya penyangga (abutment),
retainer, pontik dan penghubung (Joint of connector). Martanto (1985)
menyatakan bahwa suatu jembatan hendaknya tidak hanya sekedar mengganti
gigi-gigi yang hilang akan tetapi harus juga memulihkan dan menjamin
terpeliharanya semua fungsi dari geligi dan mencegah kerusakan selanjutnya.
Daya guna (pemulihan fungsi dan pencegahan) dari perawatan ini tergantung pada
kemampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip mekanis, fisiologis, estetik, dan
fenotik dalam batas batas biologis dari jaringan penyangga (supporting tissue). Salah satu
persyaratan mekanis yang harus dipenuhi adalah bahwa gigi penyangga yang
digunakan tepat.
Gigi tiruan merupakan suatu alat yang
diciptakan untuk mengganti gigi yang hilang, baik sebagian ataupun seluruh
gigi. Gigi tiruan berdasarkan pemakainnya ada dua macam yaitu gigi tiruan cekat
dan lepasan, salah satu contoh gigi tiruan cekat yaitu mahkota dan jembatan.
Menurut Prajitno (1994) pembuatan geligi tiruan berupa mahkota jembatan menjadi
pilihan untuk menggantikan gigi-gigi yang hilang, karena geligi tiruan ini
memiliki beberapa keuntungan diantaranya karena dilekatkan pada gigi asli,
jembatan tidak mudah terlepas dan tertelan, dirasakan sebagai gigi sendiri oleh
penderita, tidak mempunyai cangkolan yang dapat menyebebkan keausan pada
permukaan gigi, dapat mempunyai efek belat (splint)
yang melindungi terhadap stress dan menyebarkan stress (tegangan) ke seluruh
gigi sehingga menguntungkan jaringan pendukung.
Mahkota jembatan hendaknya tidak hanya
sekedar mengganti gigi-gigi yang hilang akan tetapi harus juga memulihkan dan
menjamin terpeliharanya semua fungsi dari geligi dan mencegah kerusakan
selanjutnya. Daya guna (pemulihan fungsi dan pencegahan) dari perawatan ini
bergantung pada kemampuan menerapkan prinsip-prinsip mekanis fisiologis, hyginis,
estetik dan fonetik dalam batas-batas kemampuan biologis dan jaringan
penyangga. Salah satu persyaratan mekanis yang harus dipenuhi adalah bahwa gigi
penyangga yang digunakan harus tegak supaya memudahkan pada saat preparasi dan
pemasangan, hal ini diperkuat dengan pendapat Yusiana (1999), bahwa posisi gigi
penyangga dipertimbangkan dalam pembuatan mahkota dan jembatan tidak hanya
berhubungan dengan keperluan preparasi yaitu adanya kesejajaran untuk
memudahkan arah pasang, tetapi juga harus dapat menerima dan menyalurkan daya
kunyah yang diterima tanpa terjadi trauma.
Mahkota gigi asli yang baik untuk
dijadikan gigi penyangga hendaknya mempunyai panjang yang normal, berbentuk
persegi dan mempunyai kecendrungan (bulk)
yang cukup. Gigi-gigi yang miring (condong) ke mesial atau distal dapat dipakai
sebagai gigi penyangga asalkan kecondongan tidak lebih dari 250 dari
kedudukan sumbu panjang aslinya, karena akan sulit dalam pelaksanaan preparasi
dan penentuan arah masuk dari jembatan pada waktu pemasangan protesa. Gigi-gigi
dengan keadaan miring seringkali terdapat daya yang merusak jaringan pendukung
atau melepaskan retainer dari gigi
penyangga (Martanto, 1985).
Proses infeksi jaringan periodontal diawali dengan peradangan.
Radang ialah reaksi tubuh terhadap rangsangan yang berasal dari luar tubuh
dapat berupa invasi kuman, perubahan suhu, trauma dan rangsangan dari dalam
tubuh dapat berupa ganggungan keseimbangan hormonal (Depkes R.I., 1966). Proses
infeksi dalam keseluruhan berperan proses immunologi
(reaksi antigen-antibodi), seperti pertahan khusus periodonsium terhadap serangan dari plak gigi (Houwink et al,
1993).
Menurut Depkes R.I (1996), radang
dibagi menjadi berdasarkan waktunya: 1) radang akut, yaitu radang yang berjalan
cepat dan rasa sakit yang hebat secara tiba-tiba; 2) radang kronis, yaitu
radang yang berjalan lambat dan berlangsung lama; 3) radang kronis eksaserbasi
akut, yaitu keradangan yang sudah terjadi lama tetapi mendadak menimbulkan rasa
sakit yang hebat. Menurut macam eksudat yang terjadi: 1) radang serous, eksudat
berupa cairan; 2) radang kataral, eksudat-nya mengandung lendir; 3) radang
supuratif, eksudat-nya banyak yang mengandung nanah; 4) radang haemoragik, eksudat-nya mengandung
nanah.
Proses peradangan mempunyai gejala-gejala
khusus. Menurut Celsus dan Galenus (1993), gejala-gejala klasik peradangan
adalah:
a.
Warna merah (rubor),
karena adanya infeksi, tubuh mengirimkan darah lebih banyak pada daerah
tersebut. Jaringan yang meradang mengandung banyak darah akibat kapiler-kapilernya
menyebar dan kapiler-kapiler yang awalnya kosong menjadi berisi darah.
b.
Panas (kalor), akibat
sirkulasi darah yang meningkat.
c.
Pembengkakan (tumor),
disebabkan sebagian oleh hiperimia dan sebagian besar oleh eksudat yang terjadi
pada radang.
d.
Nyeri (dolor),
disebabkan oleh tekanan yang meninggi dalam jaringan akibat terjadi eksudat dan
pengaruh zat pada ujung syaraf perasa yang dilepaskan oleh bagian yang cidera,
zat ini disebut histamine.
e.
Fungsiolaesa, bagian
yang meradang tersebut tidak bisa digunakan dengan baik (Houwink et al.,1993).
Kelainan
jaringan periodontal dibagi menjadi
dua, yaitu gingivitis dan periodontitis.
Peradangan pada gingivitis hanya mengenai jaringan gusi tanpa
menyerang tulang alveolar dan ligament
periodontal. Peradangan pada periodontitis,
telah meluas kearah apikal sehingga tulang alveolar
dan serat ligament periodontal akan rusak (Sadono,dkk., 1997).
Kelainan-kelainan jaringan periodontal antara lain:
a. Gingivitis
Gingivitis adalah peradangan
pada gingival yang menunjukan adanya
tanda-tanda penyakit atau kelainan pada gingiva.
Gingivitis ditandai dengan keadaan gusi berwarna
merah dan mudah berdarah, gusi bengkak, terdapat eksudat, bau tidak sedap, dan terdapat kantung gusi atau pocket antara gusi dengan permukaan gigi
(Depkes, R.I, 1996).
b.
Periodontitis
Periodontitis adalah peradangan dari jaringan penyangga gigi yang meliputi
gingiva, serabut-serabut periodontal, sementum dan tulang alveolar sebagai akibat lanjut dari gingivitis yang tidak dirawat. Periodontitis ini antara lain ditandai oleh rasa sakit di dalam
tulang alveolar , bau tidak enak,
rasa gatal pada gingiva, adanya
eksudat, sakit apa bila ada tekanan dan gigi terasa memanjang (Depkes, R.I,
1996). Periodontitis merupakan salah
satu penyebab utama lepasnya gigi pada orang dewasa dan usia lanjut. Periodontitis dapat disebabkan oleh
penumpukan plak dan karang gigi pada gigi dan gusi (Soebroto, 2009., Cit.
Cahyati, 2010).
Penyebab penyakit
jaringan periodontal dibagi menjadi
dua, yaitu:
a.
Faktor local
1)
Plak yaitu deposit
lunak yang melekat erat pada permukaan gigi yang terdiri dari mikroorganisme
yang berkembang dalam satu matriks interseluler apabila seseorang melalaikan
kebersihan gigi dan mulutnya (Depkes. R.I., 2010)
2)
Karang gigi yaitu jaringan
keras yang melekat pada permukaan gigi yang berwarna mulai dari
kekuning-kuningan, kecoklat-coklatan dan coklat kehitam-hitaman (Tarigan,
1995).
3)
Kebiasaan buruk yang
merugukan gigi seperti menusuk-nusuk gigi dengan benda-benda tertentu seperti
korek api, kayu dan pemakaian tusuk gigi yang salah karena adanya sisa-sisa
makanan yang tertinggal. Kebiasaan buruk tadi mengakibatkan terjadinya
pendarahan dan kerusakan gusi, akibat selanjutnya jaringan penyangga akan
terinfeksi (Depkes R.I.,1994).
4)
Merokok tembakau
Tembakau dapat
memperkeras gigi, stain bukanlah faktor
satu-satunya. Faktor yang sebenarnya adalah bahwa perokok sering tidak
membersihkan gigi geliginya sebaik yang tidak merokok. Insiden gingivitis kelihatannya lebih besar pada perokok yang
juga menunjukan adanya kerusakan periodontal
yang parah (Moestopo, 1986., Cit.Wahidah, 2006).
5)
Gigi geligi tiruan
Geligi tiruan
seringkali terbenam kedalam mukosa dan menekan tepi gingiva yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan Efek
tersebut makin bertambah buruk bila geligi tiruan tidak dibersihkan dengan baik
(Moestopo, 1986.,Cit. Wahidah, 2006).
b.
Faktor sistemik
1)
Diabetes mellitus
Penderita diabetes dewasa terutama pada kasus
jangka panjang dengan perubahan retina mengalami kerusakan periodontal yang lebih besar dari pada mereka yang tidak menderita diabetes (Manson dan Eley, 1993.,Cit.
Wahidah)
2)
Leukimia
pada penderita leukemia akut, gingivitis umumnya lunak,
warna merah gelap dan bengkak. Terlihat pendarahan spontan dari gingiva sehingga jaringan periodontal mengalami kerusakan yang
berlangsung dengan cepat disertai dengan kerusakan tulang alveolar dan tulang apikal
serta goyangnya gigi geligi (Manson dan Eley, 1993.,Cit. Wahidah).
3)
Mal Nutrisi
Mal nutrisi dapat
berakibat kelainan-kelainan pada selaput lendir mulut, seperti peradangan,
terganggunya penyembuhan luka dan sariawan. Apabila hal ini tidak segera
diatasi dapat menimbulkan kelainan yang lebih parah dan menurunnya kesehatan
secara umum yang khususnya pada jaringan periodontal
(Depkes. R.I., 1996).
4)
Gangguan hormonal
Secara psikologis hal
tersebut dapat mempengaruhi penderita secara keseluruhan diantaranya gangguan
emosional seperti malas. Hal tersebut akan menimbulkan tingkat keasaman ludah
yang berlebihan, kekeringan selaput lendir mulut, peradangan gusi (Depkes.
R.I.,1996).
Menurut Be Kien
Nio (1987), akibat periodontitis yang
tidak dirawat antara lain adalah: a. Gusi mudah berdarah dan bengkak; b.
Keluarnya nanah dari leher gigi; c. Rasa sakit waktu mengunyah; d. Nafas yang
bau busuk; e. Gigi gonyang; f. Gigi lepas
Penyakit periodontal merupakan nama generik yang
diberikan kepada kondisi inflamasi karena bakteri, yang dimulai dengan
inflamasi pada gingival yang
seterusnya bersama waktu akan terjadi hilangnya tulang penyangga gigi. Istilah gingivitis biasanya menunjuk kepada keadaan kondisi
inflamasi yang reversibel dari papila dan tepi gingiva, sedangkan penyakit yang merusak periodontal atau periodontitis
biasanya menunjuk kepada kondisi inflamasi yang meningkat menjadi
pembentukan poket, hilangnya perlekatan dan akhirnya hilangnya tulang penyangga
gigi (Harris, 2004).
Terlepas dari
sedikitnya penggunaan cairan antiseptic, satu-satunya tindakan pencegahan
terhadap penyakit periodontal adalah
dengan cara pengambilan plak secara rutin dan seksama. Pengambilan plak dalam
beberapa hal dapat dilakukan oleh petugas professional, namun secara luas
tergantung kepada tindakan individu. Pengambilan plak ini dapat secara mekanis
dan khemis. Pengambilan secara mekanis dapat dilakukan dengan sikat gigi,
benang gigi atau irigator, dan dapat dipadukan dengan cara khemis. Kumur dengan
klorheksidin atau obat kumur lainnya merupakan cara yang mudah untuk membantu
mengontrol bakteri plak.
Pelihara diri
oleh individu merupakan hal yang pokok untuk menjaga kesehatan periodontal. Apabila individu tidak
dapat mempertahankan tingkat kebersihan mulutnya yang wajar dengan melakukan
pemeliharaan diri di rumah dengan konstan dan teratur, maka apapun tindakan
perawatan yang dilakukan profesi dental hanya memberikan manfaat yang terbatas.
Obat kumur maupun pasta gigi yang beredar di pasaran merupkan bahan yang
berefek terapuitik dan kosmetik di dalam mulut. Permen karet merupakan kategori
produk baru yang mengklaim sebagai produk kosmetik dan mempunyai kemampuan
untuk melepaskan bahan terapuitik. Karena permen karet menyenangkan, maka
secara normal orang mengunyahnya (ngemut)
lebig lama daripada waktu menyikat gigi. Dengan demikian permen karet kiranya
dapat sebagai pelengkap sikat gigi karena dapat mencapai banyak permukaan gigi
yang pada umumnya terlewatkan pada pada waktu menyikat gigi. Rata-rata 40%orang
Amerika tidak dapat membersihkan permukaan gigi terutama pada bagian gigi
belakang dan bagian lingual waktu menyikat gigi. Keuntungan permen karet adalah
dapat meningkatkan produksi saliva
yang akibatnya dapat menghilangkan plak dan debris. Permen karet baik yang
bersalut gula maupun tidak, sama-sama efektif dalam mengurangi akumulasi plak
dan mengurangi pembentukan plak di banyak permukaan gigi (Fischman dan Yankel,
2004).
c.
Denture hyperplasia
Mukosa mulut
sangat rentan terhadap trauma langsung yang diterimanya dari komponen gigi
tiruan. Tekanan dari sayap gigi tiruan dapat menimbulkan iritasi kronis dan
respon hyperplastik yang apabila dibiarkan akan mengakibatkan hyperplasia karena gigi tiruan/denture hyperplasia (Gunadi dkk, 1991).
Hyperplasia karena gigi
tiruan/denture hyperplasia merupakan
akibat dari respon fibroepitelial terhadap
pemakaian gigi tiruan. Kelainan ini timbul akibat iritasi kronis dari gigi
tiruan yang longgar atau sayap gigi tiruan yang terlalu panjang. Sayap gigi
tiruan yang terlalu lebar dapat menyebabkan ulser pada mukosa dan bahkan
menjadi hyperplasia (Damayanti,
2009). Hali ini sesuai dengan pendapat Pindborg (1994), yang mengatakan bahwa hyperplasia akibat gigi tiruan/denture hyperplasia terjadi akibat sayap
gigi tiruan yang terlalu lebar atau tepi yang tajam.
Denture hyperplasia biasanya
terdapat pada penderita yang memakai gigi tiruan yang tidak tepat selama jangka
waktu yang agak lama. Tekanan dari gigi tiruan yang tidak tepat menyebabkan ulserasi traumatik. Tekanan gigi tiruan
akan meningkat bila tepi basis gigi tiruan terlalu panjang. (Gayford, 1993).
Tepi gigi tiruan yang terlalu panjang mungkin disebabkan oleh resorpsi tulang alveolar sehingga gigi tiruannya makin turun. Trauma
dari tepi gigi tiruan juga dapat terjadi jika gigi tiruan terungkit secara
berlebihan akibat okulasi yang tidak seimbang sehingga tepi sayap gigi tiruan
merusak ke dalam jaringan sulkus. Kombinasi antara hilangnya kecekatan dan
keseimbangan okulasi akan merangsang terjadinya peradangan pada mukosa (Basker,
1996).
Menurut
Damayanti (2009), hyperplasia terjadi
berupa pertumbuhan fibrotic dan
terjadi pada mukosa bergerak atau pada perbatasan mukosa bergerak dan tidak
bergerak. Kelainan ini seringkali asimtomik dan terbatas pada jaringan di
sekeliling gigi tiruan di daerah vestibular, lingual atau palatal, dapat juga
terjadi di bagian sisa alveolar .
Umumnya denture hyperplasia terletak
pada puncak alveolar dan sisanya terletak pada sulkus vestibular
serta sulkus lingual. Jika ulserasinya tidak sembuh/tidak dirawat, biasanya
akan gigi tiruan denture hyperplasia mukosa
oral (Pindbrog, 1994). Sebagian besar pasien akan meminta perawatan untuk
mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan pada mukosa sebelum luka menjadi hyperplastik , tetapi ada pasien yang
memiliki ambang rasa sakit yang tinggi sehingga tidak menyadari ada
kerusakan pada mukosa mulutnya dan tetap
memakai gigi tiruannya (Pala, 2002).
Menurut
Kristiani (202), tanda-tanda klinis denture
hyperplasia, biasanya terdapat pada sulkus bukal berupa tonjolan tidak
sakit dengan permukaan berwarna merah muda dan halus. Tonjolan terletak sejajar
dengan ridge alveolar dan diiritasi oleh gigi tiruan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Gayford (1993), menyatakan bahwa secara klinis denture hyperplasia ini berwarna merah
muda dan sedikit pucat dari warna mukosa normal. Lesi ini mempunyai panjang 3
mm – 5 mm dan tinggi 5 mm – 10 mm. Denture
hyperplasia ditandai dengan adanya massa yang terbentuk di antara pipi dan
gusi akibat respon terhadap iritasi kronis yang disebabkan oleh perbuatan sayap
gigi tiruan yang kurang pas. Menurut Pala (2002), denture hyperplasia merupakan jaringan fibrous pada tepi gigi
tiruan yang dapat berbentuk lipatan tunggal atau lipatan-lipatan ganda. Gigi
tiruan menjadi longgar atau tidak pas seiring berjalnya waktu, hal ini
disebabkan karena tulang mengalami penyusutan. Keadaan ini menyebabkan
perbatasan gigi tiruan yang berlebih mengiritasi jaringan pendukung yang telah
mengalami resorpsi dan terjadi peningkatan ketebalan dalam jaringan ini
sehingga menyebabkan denture hyperplasia.
Awalnya massa memiliki permukaan yang halus dan lembut, tetapi berubah menjadi
beralur, keras dan membesar. Lekukan pada massa dapat menjadi ulserasi dan
bengkak serta menyebabkan rasa sakit.
Denture hyperplasia paling sering terjadi pada individu baik laki-laki maupun
perempuan yang memakai gigi tiruan yang sama selama beberapa tahun, biasanya
terjadi pada seseorang yang telah berumur lebih dari 40 tahun (Patterson Dental
Supply, 2004). Pala, (2002) mendukung bahwa hal ini disebabkan karena pada usia
tersebut seseorang telah mengalami beberapa gigi yang hilang dan menggantinya
dengan gigi tiruan. Denture hyperplasia dapat
terjadi pada pasien yang memakai gigi tiruan penuh pada rahang atas dan gigi
tiruan sebagian lepasan pada rahang bawah.
Perawatan untuk
denture hyperplasia ini adalah
penyesuaian gigi tiruan untuk memperoleh gigi tiruan yang pas (Departement of
Oral and Maxiallofacial Surgery, 2009). Menurut Basker (1996), gigi tiruan yang
longgar dapat diperbaiki dengan cara melapisi basis gigi tiruan dengan bahan
pelapis untuk meningkatkan kecekatan gigi tiruan. Pelapisan ini dilakukan pada
pasien yang memakai gigi tiruan longgar setelah dipakai bebrapa waktu lama.
Pelapisan ini sangat tidak bermanfaat dilakukan jika keluhan timbul akibat
oklusi yang tidak seimbang. Kontak yang tidak merata harus dibetulkan dengan
penyesuaian oklusi. Pemendekan sayap
gigi tiruan yang menekan jaringan hyperplasia
tersebut juga dapat dilakukan jika penyebab timbulnya denture hyperplasia adalah sayap gigi tiruan yang terlalu
panjang/lebar (Pala, 2002).
Menurut Basker
(1996), jika lesi terlalu besar perlu dilakukan pengambilan jaringan tersebut
secara bedah. Jaringan hyperplastik yang
telah diambil hendaknya dikirim untuk pemeriksaan histologik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Damayanti (2009), pengambilan jaringan yang hyperplasia secara bedah dengan
anasthesi local disarankan setelah jaringan tersebut diistirahatkan beberapa
waktu untuk mengurangi pembengkakannya. Kesulitan prosedur pembedahan tersebut
adalah pemotongan yang tepat dan mempertahankan kedalaman sulkus. Sebelum
dilakukan operasi, sangat penting untuk mempertimbangkan keadaan mulut pasien
dengan tujuan untuk menambah stabilitas gigi tiruan yang baru (Gayford, 1993).
Pemberian
instruksi perlu dilakukan pada pasien supaya mengistirahatkan jaringan mukosa
mulut dengan jalan melepas gigi tiruannya. Pembuatan gigi tiruan baru yang pas
setelah pengambilan jaringan juga perlu dilakukan agar tidak terjadi lagi denture hyperplasia (Patterson Dental
Supplay, 2004).
Perjanjian
untuk control pertama tidak boleh lebih dari satu minggu setekah gigi tiruan
dipasang. Kunjungan yang pertama ini perlu diperoleh riwayat yang cermat dari
keluahan seperti rasa sakit atau longgarnya gigi tiruan tersebut. Pemeriksaan
perlu dilakukan secara seksama walaupun pasien menyatakan sangat puas dan amat
nyaman. Hal ini karena bisa saja terjadi luka pada mukosa bahkan luka yang
meradang tanpa disadari oleh pasien. Tidak adanya keluahan pada situasi ini
mungkin disebabkan oleh nilai ambang rasa sakit yang tinggi atau ingin
menyenangkan hati orang lain. Informasi yang dikumpulkan dari riwayat tersebut
dan dari pemeriksaan, dapat ditegakkan diagnosis dari msalah ataupun serta
dapat ditentukan cara perawatan yang tepat. Masalah gigi tiruan dapat
disebabkan oleh kesalahan yang tidak diketahui pada tahap pemasangan atau oleh
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam mulut sejak saat itu. Ketidakstabilan
gigi tiruan mungkin terjadi karena pasien tersebut belum mampu mengendalikan
gigi tiruannya (Basker, 1996).
Menurut Pala
(2002), denture hyperplasia dapat
timbul karena pemakaian gigi tiruan yang kurang baik dalam waktu yang lama dan
tanpa dilakukan control yang teratur. Hal ini menunjukan bahwa penting untuk
menysun program kunjungan evaluasi berkala setelah gigi tiruan sebagian lepasan
dipasang untuk menjamin bahwa jaringannya tidak rusak dan gigi tiruan tersebut
telah berfungsi secara efisien.
Kemungkinan
gigi tiruan perlu dimodifikasi agar tercapai derajat fungsi dan kenyamanan yang
tepat. Sebagai akibat adanya perubahan pada jaringan dan gigi tiruan, mungkin
perlu modifikasi jangka panjang untuk mempertahankan derajat fungsi dan
kenyamanan (Basker, 1996). Hal ini sesuai dengan pendapat Gunadi dkk (1995),
yang menyatakan bahwa control periodik bagi pemakai gigi tiruan merupakan hal
yang sangat penting. Gigi tiruan akan mengalami perubahan setelah beberapa
waktu pemakaian. Cengkeram sudah tidak pas lagi letaknya, terjadi peradangan gingival, gigi pendukung mengalami
karies, resorpsi linggir sisa adalah beberapa contoh yang perlu mendapat
perhatian. Hal ini mengakibatkan gigi tiruan menjadi tidak pas lagi. Protesa
seperti ini dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan pendukung tanpa
sepengetahuan pasien. Pemeriksaan berkala minimal dua kali dalam setahun.Perawatan
yang diperlukan pada kunjungan berkala adalah salah satu kombinasi dari hal-hal
berikut ini yaitu penyesuaian permukaan atau perluasan sayapnya, penyesuaian
okulasi dengan atau tanpa catatan pemeriksaan, pembuatan gigi tiruan pengganti
dan melapis atau mengganti basis gigi tiruan (Basker, 1996).
Menurut Harty
(1995), denture adalah protesa gigi
lepasan sebagai pengganti gigi-geligi asli yang hilang serta struktur yang
berkaitan dengannya. Menggantikan sebagaian atau seluruh gigi di rahang dan
umumnya dibuat dari resin akrilik atau kombinasi resin akrilik dengan logam.
Menurut
Syafriadi (2008) hyperplasia adalah
meningkatnya massa pada organ atau jaringan karena kenaikan jumlah sel. Dapat
terjadi regresi apabila penyebab dihilangkan, diklasifikasikan atas:
Hyperplasia fisiologis
Hyperplasia yang juga sering diikuti hipertrofi. Terjadi pada
organ-organ yang dipengaruhi oleh hormone, misalnya pada payudara, kelenjar
tyroid atau uterus.
Hyperplasia patologis
Hyperplasia yang disebabkan pertumbuhan jaringan karena faktor
patologik, misalnya infeksi atau iritasi. Berdasarkan luas daerah yang terlibat
dapat digolongkan menjadi: 1. Hyperplasia
diffuse; 2. Hyperplasia fokal/local. Misalnya
hyperplasia bone marrow, hyperplasia limfoid,
hyperplasia jaringan ikat (epulis), hyperplasia
epithelium (fibro-epithelial polip),
hyperplasia semu (Pseudo epitheliomatosa).
Menurut Harty
(1995), denture hyperplasia adalah
jaringan fibro epitel yang hyperplastik akibat iritasi kronik dari protesa gigi. Hyperplasia karena iritasi gigi tiruan (denture hyperplasia) adalah suatu respon
mukosa terhadap iritasi kronis dari gigi tiruan yang longgar, basis gigi tiruan
terlalu panjang atau terlalu luas. Hyperplasia
yang terjadi disekitar gigi tiruan merupakan pertumbuhan jaringan fibrous
pada tep gigi tiruan. Berdasarkan etiologinya denture hyperplasia terbagi atas dua kondisi yaitu hyperplasia yang disebabkan oleh iritasi
gigi tiruan dan hyperplasia yang
disebabkan karena terjadinya ulcus
traumatic (Pala, 2002).
Denture hyperplasia ditandai dengan gejala tumor seperti massa yang terbentuk
dalam ruang antara pipi dan gusi (sulcus
vestibular) dalam respon terhadap iritasi kronis yang disebabkan oleh sayap
gigi tiruan yang kurang pas. Pada rahang bawah terjadi diantara permukaan
bagian dalam gusi dan dasar mulut. Umumnya terjadi pada mereka yang memakai gigi
tiruan immediate atau pada mereka yang telah memakai gigi tiruan (lengkap atau
sebagian) yang sama selama bertahun-tahun dan sering terjadi baik pada
laki-laki atau perempuan yang berusia lebih dari 40 ahun (Patterson Dental
Supplay, 2004).
Menurut Pindborg (1994), lipatan-lipatan dan sulkus mukosa
oral yang berlebihan disebut dengan berbagai nama, seperti epulis fissuratum, granuloma
fissuratum dan hyperplasia akibat
gigi tiruan (denture hyperplasia).
Menurut Kalavathy dkk., (2010) epulis fissuratum adalah pertumbuhan berlebih dari jaringan intra
mulut dihasilkan dari iritasi kronis. Epulis
fissuratum disebabkan oleh sebuah gigi tiruan tidak pas. Epulis fissuratum juga dikenal sebagai granuloma fissuratum adalah kondisi
patologis oral yang muncul dalam mulut sebagai pertumbuhan berlebih dari
jaringan ikat fibrosa. Disebut juga sebagai inflammatory
fibrous hyperplasia, denture epulis,
dan denture hyperplasia. Istilah
epulis dapat digunakan untuk menggambarkan setiap tumor gingival tetapi dikaitkan dengan tepi gigi tiruan yang mengiritasi
mukosa yang dapat mengakibatkan epulis. Epulis
fissuratum muncul sebagai lipatan tunggal atau beberapa jaringan hyperplastik di ruang depan alveolar , yang merupakan daerah dimana gusi memenuhi pipi bagian
dalam. Umunya tepi gigi tiruan terletak di antara dua lipatan. Kelebihan
jaringan yang keras dan berserat, serta muncul lesi eritemosa dan ulserasi
mirip dengan grauloma piogenik. Ukuran dari lesi dapat bervariasi dari hyperplasia local kurang dari 1 cm
samapai dengan ukuran lesi yang lebih besar yang melibatkan sebagian besar dari
panjang vestibulum, hamper seluruh jaringan di sekitar permukaan gigi tiruan.
Penyebab utama dari denture
hyperplasia adalah tepi basis gigi tiruan yang terlalu panjang, kemungkinan
disebabkan karena resorbsi tulang alveolar
. Trauma dari tepi gigi tiruan juga dapat trjadi jika gigi tiruan menekan
secara berlebihan akibat oklusi yang tidak seimbang, sehingga tepi sayap gigi
tiruan menusuk ke dalam jaringan sulkus (Pala, 2002).
Menurut Pinborg (1994), denture
hyperplasia terjadi berasal dari sayap gigi tiruan yang terlalu lebar atau
tepi yang tajam. Tepi basis gigi tiruan yang terlalu panjang dapat meningkatkan
tekanan pada gigi tiruan terhadap jaringan (Gayford, 1993). Sebagian besar
terjadi diakibatkan karena tekanan dari gigi tiruan yang tidak tepat sehingga
menimbulkan ulserasi traumatic. Jika
ulserasinya tidak sembuh/tidak dirawat, biasanya akan timbul hyperplasia
mukosa oral. Kebanyakan hyperplasia akibat
iritasi gigi tiruan terletak pada puncak alveolar
dan sisanya terletak pada sulkus
vestibular kecuali beberapa persen terletak pada sulkus lingual. Denture hyperplasia dapat terdiri dari
satu lipatan atau banyak lipatan (Pindborg, 1994).
Tanda-tanda klinis denture
hyperplasia, biasanya terdapat pada sulkus bukal berupa tonjolan tidak
sakit dengan permukaan berwarna merah muda dan halus. Tonjolan terletak sejajar
dengan ridge alveoral dan diiritasi
oleh gigi tiruan (Kristiani, 2012).
Jaringan hyperplastik akan mengecil jika gigi tiruannya tidak
dipakai untuk sementara waktu atau sayapnya dibuat agak pendek dari daerah yang
terkena. Pada beberapa keadaan, derajat penyembuhan cukup untuk memungkinkan
gigi tiruan baru dibuat tanpa penanganan secara bedah. Tetapi jika lesi terlalu
besar hingga tidak memungkinkan perluasan sayap gigi tiruan yang memadai maka
perlu dilakukan pengambilan jaringan tersebut dengan pembedahan. Hyperplasia akibat gigi tiruan merupakan
hasil iritasi kronis, suatu hal yang dianggap sebagai penyebab keganasan.
Jaringan hyperplastik yang telah diambil hendaknya secara rutin
dikirim untuk pemeriksaan histologik (Basker, dkk., 1996).
Pemendekan sayap gigi tiruan yang menekan jaringan hyperplasia dapat dilakukan untuk
mengatasi denture hyperplasia. Ketidakteraturan
pada permukaan basis yang menghadap ke jaringan pendukung gigi tiruan harus
dihaluskan. Sebagaian pasien akan meminta perawatan untuk menurangi rasa sakit
yang ditimbulkan oleh tekanan pada mukosa sebelum lukanya menjadi hyperplastik . Tetapi ada sekelompok
pasien dengan ambang rasa sakit yang tinggi, tidak menyadari adanya kerusakan
jaringan sehingga terus saja memakai gigi tiruannya (Pala, 2002).
Perawatan lainya dapat dilakukan dengan eksisi bedah
menggunakan laser karbon dioksida dan rehabilitasi selanjutnya dengan gigi
tiruan palsu yang baru dan pas/tidak longgar (Kalavathy dkk., 2010).
Pembuatan gigi tiruan yang tidak baik dapat menyebabkan
timbulnya titik-titik nyeri pada gusi akibat penekanan yang tidak merata
(Pratiwi, 2007). Sebelum pemasangan protesa harus diamati dengan cermat dibawah
sinar lampu yang terang. Permukaan berkontak jaringan harus bebas dari
pelembung dan goresan tajam. Permukaan kasar dan tepi tajam merupakan sumber
terjadinya trauma pada mukosa. Deteksi permukaan dan tepi semacam ini dapat
dilakukan dengan perabaan jaringan tangan. Bagian-bagian lain seperti
cengkeram, bar, plat dan sadel serta permukaan poles gigi tiruan harus
diperiksa. Permukaan yang dipoles sempurna akan meningkatkan toleransi pasien
terhadap protesa yang dipakainya dan sekaligus menurangi debris sisa makanan.
Pada tahap selanjutnya, hal ini akan mengurangi tertumpuknya deposit plak.
Iritasi permukaan kasar dan tajam terhadap lidah, pipi dan mukosa juga dapat
dihindarkan.
Salah satu faktor berperan yang dapat mengakibatkan
perubahan-perubahan pada jaringan mukosa mulut adalah lamanya suatu protesa
dipakai dalam mulut. Para ahli menganjurkan supaya gigi tiruan tidak dipakai
sepanjang siang dan malam hari secara terus menerus. Selain jaringan mukosa mulut
dapat beristirahat, lidah maupun otot-otot sekitar mulut dengan bantuan saliva
dapat melakukan pembersihan dan stimulasi terhadap jaringan yang berada dibawah
protesa. Control secara periodic bagi pemakai gigi tiruan juga sangat penting,
karena pemakaian dalam beberapa waktu yang lama gigi tiruan pasti mengalami
perubahan. Hal ini juga mengakibatkan perubahan pada jaringan mulut pemakai
gigi tiruan (Gunadi, dkk., 1995).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Gigi Tiruan Jembatan memiliki beberapa komponen diantaranya abutment, retainer, pontik dan
penghubung.
2. Pengerjaannya mirip dengan mahkota tiruan, pembuatannya dilakukan di
lab gigi dan membutuhkan 2kali kunjungan atau lebih (tergantung dari kasus).
Pada kunjungan pertama, gigi tetangga dari area gigi yg hilang dipreparasi /
dikecilkan untuk dijadikan pegangan dari C&B tsb. Selanjutnya dilakukan
pencetakan pada area gigi tsb, hasil cetakan dikirim ke Lab. Pada kunjungan
kedua, C&B dicobakan, dilakukan penyesuaian dan evaluasi terhadap
kecekatan, kenyamanan dan estetis. Bila adaptasi telah baik, C&B tersebut
dipasangkan permanen dengan semen kedokteran gigi.
3. Keuntungan Gigi Tiruan Jembatan diantaranya dapat dilekatkan pada
gigi asli Gigi Tiruan Jembatan tidak mudah terlepas dan tertelan, dirasakan
sebagai gigi sendiri oleh pasien, tidak ada cangkolan yang menyebabkan keausan
pada permukaan gigi serta menyebarkan stress. Sedangkan kerugiannya pada basis
yang terlalu panjang dapat menekan mukosa mulut sehingga mulcul ulcerasi traumatic, harganya mahal bagi
masyarakat menengah kebawah.
4. Jaringan periodontal
terdiri dari gingival, tulang alveolar, ligamentum periodontal dan cementum.
5. Kelainan-kelainan jaringan periodontal
akibat pemasangan gigi tiruan diantaranya gingivitis, periodontitis dan
Hyperplasia.
B.
Saran
1. Bagi Penulis, agar lebih banyak membaca skripsi, jurnal dan
makalah tentang gigi tiruan jembaan sehingga keterampilan dan pengetahuan dalam
memberikan informasi pada masyarakat meningkat.
2. Bagi Institusi Pendidikan, agar lebih banyak menyediakan literature-literature tentang
akibat-akibat yang ditimbulkan pada pemasangan gigi tiruan jembatan, sehingga
baik mahasiswa maupun praktisi kesehatan lain mudah dalam memperoleh sumber
pengetahuan.
3. Bagi Masyarakat
agar lebih selektif dalam memilih macam-macam gigi tiruan yang aman bagi
kesehatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Academy
of Prosthodontics, The Glossary of
Prosthodontic Terms, Academy of Prosthodontics, Mosby, 1999.
Adenan,
2009, Pembuatan Jembatan pada Gigi
Anterior, Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Kedokteran Gigi 2: Bandung.
Basker,
dkk, 1996. Perawatan Prostodontik Bagi
Pasien Tak Bergigi, EGC, Jakarta
B.
Carr Alan, Mc. Givney Glen P., Brown David T, Mc, 2005. Cracken’s
Removable Partial Prosthodontics, Universitas Michigan, Mosby.
Be
Kien Nio,
1987. Preventive Dentisry Untuk Sekolah
Pengatur Rawat Gigi, YKGI, Bandung.
Brunton
PA, Smith P, Mc. Cord JF, Wilson NHF. Procera
all-ceramic crowns: A New Approach to an Old Problem. Britis Dental
Journal, 1999.
Damayanti,
Lisda, 2009. Respon Jaringan Terhadap
Gigi Tiruan Lengkap Pada Pasien Usia
Lanjut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung.
Dykema
R.W, Goodarce C.J., Philips R.W. Johsnston’s Modem Practice In Fixed
Prosthodontics. Fourth Edition, W.B.
Saunders Company, 1989.
Fiorellini JP, 2005. The
tooth-supporting structures. In: Newman MG, Takei HH, Carranza FA, editors.
Carranza’s clinical periodontology. 10th Ed. Philadelphia: WB
Saunder Co.
Gayford, J.J., dkk., 1990, Penyakit Mulut Jilid II, EGC, Jakarta
Gunadi, H.A., Margo, A., Burhan, L.K.,
Suryatenggara, F. dan Setiabudi, S., 1991, Buku
Ajar Ilmu Gigi Tiruan Sebagian Lepasan, Jilid
I, PT. Hipokrates, Jakarta.
Guswiyan,
2008. Mahkota Selubung Gigi Tiruan
Jembatan, [Online], http://freewebs.com/mahkotaselubung.html, diakses tanggal 6 Januari 2014
Herijulianti,
E., Indriani, T.S., Artini, S., 2002. Pendidikan
Kesehatan Gigi, EGC: Jakarta.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127446-R17-PER-196-Kerusakan
jaringan-Pemdahuluan.pdf,
diakses tanggal 12 Maret 2014.
Kalavathy,
dkk., 2010, Dentured Induced Fibrous
Hyperplasia: A Case Report. SRM University Journal of Dental Sciences
[Online]. Vol 1 (3) 3 halaman.
Tersedia:http://streamdent.in/case%reports%20issue%203/chapter%207.pdf, diakses
4 Januari 2014.
Komfeld
M. Mouth Rehabilitation Clinical and
Laboratory Procedures. Mosby Company, St. Louis, 1974.
Martanto,
P., 1985. Teori dan Praktek Ilmu Mahkota
dan Jembatan: Fixed Partial Prosthodontic Jilid I dan Edisi Kedua, Alumni,
Bandung.
Megananda, at.all, 2010, Buku Ajar
Preventive Dentistry, EGC, Jakarta.
Pameijer,
Jan,
Periodontal dan occlural faktor in crown and bridges procedures,
PBC, Amsterdam, 1985.
Pellecchia
R, Kang K.H. & Hirayamie H. 2004, Fixed
Partial Denture Supported by All Ceramic Copings. A Clinical Report. J
Prost Dent..
Prajitno,
H.R., 1991, Ilmu Geligi Tiruan Jembatan:
Pengetahuan Dasar dan Rancangan Pembuatan, EGC, Jakarta
Rahmadhan, A.G., 2010, Serba Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, PT.
Bukune, Jakarta.
Rikmasari, W.R., 2008, Pilih Gigi Palsu Sesuai Kondisi Anda, http://pdgi-online.com,
diakses 4 Januari 2014
Shilingburg
H, Hobo S, Whitsett L, Richard J, Brackett S. Fundamental of fixed prosthodontics. 3rd Ed. North
Kimberly, Quintessesnce Publishing Co, Inc, 1997.
Sitorus,
Ronald H., 2005, Gejala Penyakit dan
Pencegahannya. Yrama Widya, Bandung.
Surtiana, N., 2011, Hubungan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan
Mulut dengan Periodontal Disease Index (PDI) pada Usia Lanjut di Posbindu Desa
Jayapura Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011, Skripsi, Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya.
Wahidah, T., 2010, Hubungan Usia Lanjut
Kelompok Umur 45-60 Tahun terhadap Keadaan Jaringan Periodontal (CPITN) di
Dusun Cisarana Desa Karang Jaya Kecamatan Karang Jaya Kabupaten Tasikmalaya, karya tulis ilmiah, JKG Poltekkes
Tasikmalaya, Tasikmalaya.
Widiarti, T., 2010, Penggunaan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Akrilik sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Fungsi Pengunyahan,
Skripsi, Jurusan Keperawatan Gigi, Politeknik Kesehatan Tasikmalaya.
Yusiana, N., 1991, Perawatan Ortodonsi
untuk Memperbaiki Malposisi Gigi Penyangga, Skripsi,
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran, Bandung.
BIO DATA PENULIS
Affi
Fahruriyah lahir di Indramayu pada tanggal 25 Oktober 1981, anak ke delapan
dari Sembilan bersaudara dari pasangan Bapak Abu Chaery Abbas (Alm) dan Ibu
Lailatul Badriyah. Beralamat di Blok Pasar Nomor 8 rt 01 rw 01 Desa Parean
Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Kode Pos 45254.
Riwayat Pendidikan
1.
SDN
Bulak I Kandanghaur – Indramayu 1988 – 1994.
2.
SMPN 1
Kandanghaur – Indramayu 1994 – 1997.
3.
SMAN 1
Kandanghaur Indramayu 1997 – 2000
4.
D-III Poltekkes
Jakarta I Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta Jurusan Kesehatan
Gigi 2001 – 2004.
5.
D-IV
Poltekes Tasikmalaya Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Jurusan
Keperawatan Gigi 2013 – 2014.
Langganan:
Postingan (Atom)